Rabu, 18 Juni 2008

atraksi kerinci

Atraksi Kerinci
Selasa, 07 November 2006 | 12:31 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Setelah berjalan di atas api, dua penari berpakaian adat berhasil memadamkan bara api dengan kedua tangannya. Hanya dalam hitungan menit, asap hitam membubung ke atas. Lengkingan penari pun terdengar kencang diiringi entakan musik.

Teriakan itu merupakan pertanda dia telah berhasil mengalahkan rintangan tersulit menuju takhta sesuai dengan nama tarian itu, Nitik Naik Mahligai (Jalan Menuju Takhta). Atraksi berbau magis ini dipersembahkan dalam pembukaan Festival Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi, 28 Oktober lalu.

Tak pelak, tarian itu menyorot perhatian pengunjung festival yang berlangsung hingga 4 November 2006 ini. Perhatian penonton sudah muncul sejak atraksi pertama, ketika seorang penari membengkokkan dua bilah pedang di hadapan dupa menyala yang melambangkan gelora jiwa. Sementara itu, puluhan penari lainnya berlenggang-lenggok di atas pecahan kaca yang dicampur kertas. Kemudian, secara bergantian, mereka berjalan di atas pisau panjang yang tajam. Tak hanya itu, mereka juga berjalan di atas mangkuk berisi telur panas tapi tidak boleh pecah, mematahkan tombak, serta berjalan di atas paku dan kayu yang ujungnya dibuat tajam.

Menurut pengarah tarian, Eva Bramanti Putra, setiap atraksi mengandung arti. Berjalan di atas pedang, misalnya, melambangkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Rintangan paku melambangkan sang pemimpin harus mampu menghadapi masalah dengan tabah, misalnya bila terjadi konflik dalam negerinya. Kertas atau daun melambangkan kemakmuran bagi perekonomian rakyatnya. Pedang dan tombak artinya seorang pemimpin bila dalam keadaan terjepit harus mengambil sikap yang tegas. Sedangkan bara api adalah simbol kebatinan kepada Yang Maha Kuasa.

Awalnya, tarian ini merupakan bagian dari prosesi calon raja yang akan memerintah pada masa lampau. Ia harus berhasil melalui rintangan sebelum naik takhta. Prosesi ini kemudian dikembangkan Baginda Rami, leluhur Eva, menjadi tarian yang dibawakan kaum perempuan sejak 1309. "Tidak sembarang orang bisa mempelajarinya," kata Eva. Biasanya penari masih berasal dari keturunan Baginda Rami. Sebelum tampil untuk atraksi tersulit, penari harus melakukan ritual mandi suci dengan buah balimau (jeruk purut) dan pandai membaca mantra.

Atraksi yang tidak kalah istimewanya adalah tarian massal untuk menyambut tamu yang datang ke Bumi Sakti Alam Kerinci. Lebih dari 100 remaja putra-putri berpakaian adat dalam aneka warna yang dilengkapi aksesori melakukan gerakan gemulai diiringi suara gendang, rebana, dan bunyi gong di atas hamparan karpet biru menyala. Tarian yang ditata sesuai dengan kondisi geografis Kerinci ini menyuguhkan tiga formasi tarian, mencakup tari Rangguk, tari Tauh, dan tari Ntok Kudo. Anak-anak pun dilibatkan dalam festival ini melalui atraksi gendang yang ditabuh dengan irama angin songsong barat, alunan ombak, dan kidung burung pantai danau.

Festival Kerinci yang digelar tahun ini memang terlihat menarik dalam suguhan atraksi. Wajar saja, sejak 1990, festival budaya ini menjadi acara nasional yang bertujuan melestarikan nilai budaya masyarakat lokal. Tahun ini, festival diikuti pula Provinsi Sumatera Barat, Kota Bukittinggi, Kota Madya Padang Panjang, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Solok Selatan. Warga setempat pun menantikan festival ini. Lilawati, 36 tahun, mengaku senang menyaksikan atraksi tarian bersama kedua anaknya seraya menikmati libur Lebaran.

Namun sayangnya, pelestarian alam di sekitar Danau Kerinci tampak kurang diperhatikan. Bazar yang digelar di sekitar Danau Kerinci penuh dengan sampah berserakan. Tenda-tenda yang dipasang tidak beraturan menjajakan penganan dan mainan.

Selain itu, infrastruktur menuju Danau Kerinci juga tidak memadai. Dari Kota Jambi, Anda perlu waktu sekitar 8 jam dengan jalan darat. Sedangkan dari Padang, butuh waktu 6 jam. Maklum, lapangan terbang Depati Parbo di Kabupaten Kerinci hingga kini belum dapat digunakan. Menurut Wakil Gubernur Jambi Anthony, dibutuhkan Rp 100 miliar untuk membangun bandar udara ini. Maka pengunjung pun harus menikmati festival dengan lelah.

Martha Warta Silaban

2 komentar:

yitnoku mengatakan...

baca doank..!

Anonim mengatakan...

nice article

------------------
Antoni Pasaribu
Solfegio Studio
www.solfegio.wordpress.com